Larangan Menikah pada Bulan Suro

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa dan merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang berbeda sehingga adat merupakan identitas suatu bangsa. Di negara Indonesia, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa yang berbeda sehingga adat merupakan idenstitas suatu bangsa.

Pernikahan merupakan salah satu adat yang semua daerah memilikinya. Karena pernikahan salah satu peristiwa penting dalam sejarah kehidupan setiap orang. Masyarakat jawa memaknai peristiwa penikahan dengan menyelenggarakan berbagai upacara. Dalam masyarakat jawa dalam menentukan ahri pernikahan biasanya ada perhitungannya dan ada hari atau bulan dimana tidak diperbolehkan menyelenggarakan upacara pernikahan.

Menjelang tahun baru islam atau sering disebut bulan muharram atau bulan suro. Bagi masyarakat jawa bulan suri ini dianggap sebagai bulan yang keramat. Bahkan ada pantangan untuk yang menyelenggarakan upacara pernikahan selama bulan suro. Tidak heran mengjelang akhir bulan dzulhijrah masyarakat buru-buru dan banyak yang menggelar upacara pernikahan sebelum memasuki bulan suro.

Hal ini mempunyai alasan bahwa apabila menggelar hajatan pernikahan di bulan suro dikhwatirkan pasangan yang menikah akan mendapat nasib buruk. Ada beberapa alasan juga yang menyebabkan masyarakat jawa mengeramatkan bulan suro berdasarkan pda kepercayaan hindu yaitu : Batara kala sang penguasa suro juga merupakan penguasa waktu yang menjalankan hukum karma. Dewasanya batara kala bermakna buruk nasibnya kata Han Gagas.  Oleh karena itu bulan tersebut harus di hindari. Jika melanggar dikhawatirkan nasib buruk akan datang. Hal ini tidak hanya berlaku untuk upacara pernikahan saja namun acara hajatan lain seperti khitanan, pendirian rumah, atau pindah rumah dan lain sebagianya.

Bulan suro dianggap bulan yang spiritual sehingga waktunya untuk ibadah dan membersihkan dari sifat, sikap, watak nafsu angkara, aluamah, sufiyah, mutmainah dan bisa dianggap sebagai bulan rehat dan refleksi renungan. Dalam bulan suro ini masyarakat sebaiknya memanfaatkannya untuk lebih memaknai hidup dan tidak mengutamakan keduniawian. Seperti halnya beribadah, merehatkan diri dari hingar bingar dunia dan merenungkan agar berjalan lebih baik kembali.

Dalam masyarakat jawa terdapat alasan lain dari segi sosial dan ekonomu yaitu bahwa masyarakat perlu jeda termasuk kondisi keungan. Jika terlalu banyak hajatan yang harus disumbang, nanti terlalu banyak yang ngoyo kerja buat nyumbang, itu bisa membuat aura yang negatif. Masyarakat jawa memang bisa menggelar pesta pernikahan sepanjang tahun kecuali bulan suro. Sehingga pada bulan itulah terdapat rehat atau jeda sejenak dari biaya hajatan. Tidak hanya dari pihak penyelenggara, namun juga bagi orang yang menghadiri hajatan tersebut.

Bahkan dalam islam ada sunnah berpuasa pada tanggal 9,10 dan 11 muharram, hal ini mengindikasikan kita bisa mengambil hikmay dari puasa dengan merenung dan mengekang diri dari hawa nafsu. Selain itu dengan berpuasa, kita juga dapat belajar untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan.

0 comments on “Larangan Menikah pada Bulan SuroAdd yours →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *